KERAMAT
DUNIA-AKHIRAT
Ibu adalah sosok yang
sangat pilih kasih. Itu yang terus terpatri dalam pemikiranku sebelum menginjak
bangku kuliah. Mungkin karena sejak masih usia balita, aku dititipkan pada Uwa
yang merupakan kakak perempuan Mamah (panggilan aku dan saudara-saudaraku untuk
Ibu). Ungkapan sayang dan bermanja-manja
sama sekali tidak pernah ada dalam hubungan kami.
Lahir di tengah-tengah
banyak saudara tentu memiliki suka duka tersendiri. Senangnya, aku tidak pernah
merasa kesepian. Namun ada satu hal yang mengganjal, yakni sikap ibu yang
berbeda terhadap salah satu adikku membuat rasa cemburu yang memang telah aku pendam
sekian lama, kembali muncul. Terutama kejadian waktu ‘itu’, saat kenaikan kelas
ke kelas 3 SMA, tepatnya hari pembagian rapor.
Pagi itu seperti
biasanya, usai shalat Shubuh aku menyapu halaman rumah. Ibu dan ayah tampak bersiap
menuju pasar untuk berjualan di salah satu warung disana. Semalam aku meminta
ibu untuk datang ke sekolah untuk diskusi umum dengan wali kelas yang rutin dilakukan
saat pembagian rapor. Selain itu, aku juga meminta uang untuk biaya pengayaan
yang akan dimulai semester berikutnya.
“Bayar pengayaannya
nanti aja, ya. Mamah baru aja keluar uang buat biaya masuk SMP adik. Terus kalo
Mamah ngga ke sekolah, rapornya ambil sendiri aja ya”, ujar Ibu dengan aksen
Jawanya, saat melewatiku.
Belum sempat aku
menjawab, motor yang dikemudikan ayah langsung pergi. Aku terpaku memandang
motor yang ditumpangi Mamah dan Bapak menghilang di tikungan ujung jalan.
Setelah itu, aku melanjutkan menyapu sambil menangis dan mengumpat dengan
menyebut ‘Mamah pelit’, ‘Mamah pilih kasih’, ‘Mamah jahat’, dan semacamnya.
Tanpa aku sadari, ternyata ada genangan air kotor di depanku dan kakiku
menginjaknya. Spontan aku berteriak dan makin dongkol saja. Waktu itu, aku
masih belum sadar, bahwa hari itu masih musim kemarau dan jarang ada genangan
di halaman rumah kecuali di musim penghujan. Allah langsung menegurku saat itu
juga. Tapi rupanya pintu hati dan pikiranku masih tertutup hingga aku mengalami
kejadian ‘itu’ yang kedua dan ketiga kalinya.
Kejadian ‘itu’ yang
kedua terjadi saat pendaftaran kuliah. Selepas SMA, aku berniat mengambil
jurusan Mikrobiologi di ITB. Hasil ujian Try
Out dan psikotes menunjukkan hasil positif. Formulir sudah dibelikan kakak
ke-3 yang melanjutkan pendidikan disana juga. Selanjutnya tinggal
menyerahkannya secara langsung ke kampus ITB sebagai bukti regristasi ulang.
Hatiku senang karena yang kupikirkan saat itu, aku bisa jauh dari Mamah. Aku
jadi bisa mengurangi rasa bersalah atau ‘dosa’ karena terus menjaga jarak
dengan Mamah. Mamah semapt memberi masukan agar aku tidak kuliah jauh-jauh,
cukup di Cirebon atau Majalengka saja. Tapi aku menolak dan bersikeras ingin
kuliah di Bandung.
Diantar kakak, aku
menuju bagian administrasi yang mengurus ujian SNMPTN (waktu itu masih SPMB).
Kampus ITB sangat luas. Tidak heran jika mahasiswa disana cara berjalannya
serba cepat. Mungkin karena ingin cepat sampai di tempat tujuan. Hatiku masih
berbunga-bunga mengingat aku pun akan menjadi salah satu dari mereka. Menjadi
mahasiswa salah satu PTN bergengsi di Indonesia.
Sampai di tempat
pengembalian formulir, aku dan kakakku dikejutkan dengan pernyataan dari dalah
satu karyawan disana.
“Wah, sayang, Dik.
Registrasi ulangnya sudah ditutup. Kan sampai tanggal 10”
“Lho, memangnya
sekarang tanggal 10, ya? Ya Allah, saya kira hari ini tanggal 9, Pak”, tanya
Kakakku dengan raut terkejut.
Aku tidak mendengar
apa-apa lagi. Langit seakan runtuh. Kecewa? Pasti. Sedih? Tentu. Marah? Iya.
Tapi mungkin karena terbiasa dengan kabar tidak mengenakkan, aku tidak
menangis. Padahal kejadian hari itu adalah salah satu hal paling mengecewakan
sepanjang sejarah hidupku.
Nasib
baik memang tidak pernah berpihak padaku, batinku saat itu.
Sejak saat itu, aku
tidak semangat untuk kuliah. Untuk mengisi kekosongan, aku daftar berbagai
kursus. Tujuanku tetap satu, agar waktu untuk tinggal di rumah makin berkurang
sehingga berinteraksi dengan Mamah pun bisa dikurangi. Tiap hari-hariku sibuk
dengan kursus bahasa Inggris, bahasa Jepang, masak, karate, dan menjahit. Semua
kurus tersebut setengah hati aku lakukan karena memang merupakan upaya pelarian
dan kekecewaan karena tidak bisa kuliah tepat waktu.
Kejadian ‘itu’ yang
ketiga lebih berhubungan dengan Bapak. Tepat setahun melepas predikat pelajar,
kakakku mendaftarkan aku di STAN. Namun waktu itu aku sedang hobi nonton
televisi. Hingga menjelang keberangkatanku ke Bandung pun aku masih asyik
nonton.
“Sudah, nonton televisi
saja, tidak usah kuliah!”, tegur Bapak waktu itu.
Bapak tampak marah
meski tetap mau mengulurkan tangannya saat kusalami. Aku berangkat dengan
sedikit menyimpan rasa gundah atas ucapan bapak tadi. Namun, di perjalanan,
kegundahanku pun menghilang begitu saja.
Kejadian tahun lalu
terulang kembali. Pihak administrasi yang menerima berkas pendaftaran ulang,
memintaku membawa berkas yang ditandatangan asli oleh kepala sekolah. Aku lupa
bahwa copy-an ijazah yang kuberikan
hanya dilegalisir dengan cap saja. Aku hopeless
untuk bisa kuliah tahun ini. Kakak memintaku untuk kembali ke Bandung esok
hari. Aku menolak karena sudah malas ke Bandung. Alasan utama lebih kepada
ketakutanku gagal lagi dalam tahap pendaftaran. Malu, pesimis, dan kecewa. Saat
itu aku juga belum sadar bahwa kejadian itu akibat dari kebiasaanku menonton
televisi yang telah mengundang murka Allah. Bukankah murka beliau merupakan
cerminan dari murka Allah?
Setelah lebih dari dua
tahun menjadi ‘masyarakat biasa’ atau ‘rakyat jelata’ dan hanya disibukkan
dengan aktivitas kursus yang kurang menarik, akhirnya kakakku yang ke-2
menawariku kuliah di Cirebon. Waktu itu aku tidak langsung menjawab, tapi
rupanya kakak langsung mendaftarkanku.
Setahun terakhir ini
aktivitas rutinku bertambah. Dari yang semula kursus saja, aku juga diminta
untuk membantu Mamah di warung, karena kebetulan adikku yang biasa membantu
Mamah telah diterima di Andalas. Sebelum ke pasar, mungkin karena amat
lelahnya, Mamah memintaku memijat pundak beliau. Saat aku melihat rambut yang
lebih didominasi warna putih, aku tertegun. Usia Mamah telah demikian lanjut.
Setelah Mamah memintaku berhenti memijat, aku menawarkan diri untuk menyisir
rambut Mamah. Meski tampak heran, beliau tidak keberatan juga. Melihat
uban-uban itu membuat aku tidak tahan menahan air mata. Apakah aku bisa
memperbaiki hubunganku dengan Mamah? Setelah sekian lama bergelut dengan
stereotip negatif tentang beliau? Apakah aku terus membuat jarak dengn Mamah
hingga Izrail datang menjemput salah satu di antara kami? Aku langsung takut
jika hari itu benar-benar datang dan aku belum bisa menjadi anak yang membuat
orang tuaku bahagia.
Aku baru sadar, bahwa
orang yang paling diharuskan oleh Allah untuk dipergauli dengan baik adalah
orang tua. Bagaimana mungkin aku bisa menciptakan jarak hingga bertahun-tahun?
Pertanyaan dan penyesalan membaur dalam hati. Apakah seperti ini akhlak
Muslimah yang kerap halqah dan memakai jilbab? Apakah jilbab tersebut justru
menjadi perisai agar akhlak yang sebenarnya bisa tertutupi? Astaghfirullah . .
.
Kajian halqah tentang Birul walidayn saat kelas X SMA kembali
teringat. Entah selama ini memori itu
tersimpan di sudut mana hingga baru kutemukan sekarang. Aku pun bersimpuh di
hadapan Mamah. Meminta maaf atas semua kesalahan yang telah aku lakukan. Mamah
tampak terharu dan tersenyum. Senyum yang sampai saat ini masih aku ingat dan
tidak akan pernah kulupakan.
Sejak saat itu, rasanya
berbagai kemudahan aku dapatkan saat mendaftar di IAIN ini. Allah memiliki
banyak rencana cantik untuk hamba-Nya. Karena hadiah dari Allah memang tidak
selalu dibungkus dalam bentuk ‘kado kebahagiaan’, tetapi bisa pula dalam bentuk
‘masalah’ yang didalamnya telah tersedia kado yang lebih indah.
Aku men-ceklis Biologi
dan Matematika dalam kolom jurusan yang menjadi pilihan. AlhamduliILLAH,
diterima di Biologi. Tapi, begitu terkejutnya aku melihat begitu padatnya
jadwal kuliah dan praktikum. Sempat terbersit untuk pindah ke jurusan
Matematika atau lainnya seperti beberapa teman yang pindah ke jurusan lain. Bahkan
ada pula yang keluar lalu pindah ke universitas lain. Tapi tidak sedikit pula
yang bertahan dan berjuang bersama-sama hingga akhir. Menginjak UAS semester 7
ini, semua tantangan dan rintangan berhasil kami lewati.
Aku tidak menyangka
bisa bertahan kuliah di IAIN dengan nilai yang tidak mengecewakan. Bagaimana
tidak, jika sebelum dan setelah pulang kuliah, yang aku lakukan adalah membantu
ibu di pasar. Bisa dibilang, dalam waktu 24 jam sehari, hanya 1 jam yang bisa aku
alokasikan untuk belajar, terkecuali jika ada tugas yang membutuhkan waktu
lebih dari itu. Selain itu, aku juga mengikuti UKM Ldk dan masih sering
menekuni hobiku menulis. Aku yakin, bahwa semua ini tidak terlepas dari do’a
restu Mamah dan Bapak. Karena ridha Allah ada pada ridha keduanya. Ketika
sebagian orang meyakini sesuatu untuk dikeramatkan, seperti mengkultuskan
tempat untuk berdo’a, sesungguhnya keramat itu ada di dekat kita. Do’a yang
paling mujarab dan mustajab ada pada kedua orang tua kita.
Semoga kisah ini bisa
menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan inspirasi bagi siapa pun yang
membacanya, bahwa ada orang yang tak akan pernah mengharapkan balasan dalam
mencurahkan kasih sayangnya pada kita. Tiap orang tua memiliki cara tersendiri
untuk mencurahkan kasih sayangnya untuk kita. Di antara kita mungkin sulit
untuk mengucapkan ‘I love you, Mom’. Bahkan sampai ini, lidahku masih kelu
untuk mengucapkan kalimat yang begitu mudahnya diucapkan Delisa pada Ummunya.
Ummy,
Delisa mencintai ummy karena Allah . . .
Ibu mana yang tidak
terharu dan menangis mendengar kalimat itu diucaokan oleh anaknya. Dan aku pun,
ingin sekali bisa mengucapkannya pada Mamah. Entah mengapa aku masih saja malu
untuk mengatakannya.Padahal kalimat itu begitu sederhana jika memang kita
membiasakannya. Masalahnya, aku memang tidak terbiasa mengucapkan kalimat itu.
Aku berharap, aku bisa mengungkapkannya sebelum Allah memanggil salah satu di
antara kami, Insha Allah . . .
Satu hal yang kuyakini
saat ini, yaitu Mamah tahu aku menyayanginya dan aku pun tahu bahwa Mamah
sangat menyayangiku dan saudara-saudaraku. Hanya saja, jarang bisa diungkapakan
dalam bahasa verbal. Kami memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan kasih
sayang. Bisa dengan cara sederhana, seperti saling membantu, mendo’akan, dan terus
menyambung silaturrahim meski
dipisahkan oleh jarak. Mungkin puisi yang pernah aku baca di salah satu novel
di bawah ini mampu mewakili cara kami mengungkapkan kasih sayang. Walaupun
konteksnya untuk sepasang suami istri, tapi menurutku tepat pula jika seorang digambarkan
sebagai ungkapan ibu kepada anaknya.
Aku
ingin mencintaimu secara sederhana
Seperti
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Aku
ingin mencintaimu secara sederhana
Seperti
kayu kepada api yang menjadikannya abu
dst
. . .
I’ll always love you, Mom
Until Izrail comes and my breath be lost
A long life
Until the end of time . . .
Aku akan selalu mencintai Mamah karena
Allah.
PS:
Sempat bingung juga
ketika Departemen Kemuslimahan meminta saya untuk membuat kisah inspirasi
tentang ibu. Bukan karena tidak ada yang bisa diceritakan, bahkan sebaliknya. Banyak
kisah yang tentu tidak dapat saya ceritakan detailnya disini (karena tidak akan
pernah cukup tinta pena di seluruh dunia ini untuk bisa menorehkannya secara
keseluruhan . . . ^_^). Saya sangat yakin, kisah inspirasi nan mencerahkan yang
mampu mengguncang dunia bisa dialami oleh siapa saja, termasuk rekan-rekan
semua yang membaca kisah ini.
Sebenarnya saya jarang
menggunakan sudut pandang orang pertama dengan sebutan ‘aku’. Karena menurut
orang Melayu, ke-Aku-an mutlak hanya milik Allah. Tapi karena ingin mengurangi
kekakuan bagi yang membacanya, maka ‘terpaksa’ saya menggunakannya juga. Tanpa
mengurangi rasa hormat saya pada orang Melayu, maka moga Allah pun meridhi
tulisan saya ini. Inshaa Allãh, Aamiin
Allãhumma Aamiin.
By
Majaza’ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar