Sabtu, 04 Januari 2014

IBU: SOSOK KERAMAT DUNIA-AKHIRAT


KERAMAT DUNIA-AKHIRAT

Ibu adalah sosok yang sangat pilih kasih. Itu yang terus terpatri dalam pemikiranku sebelum menginjak bangku kuliah. Mungkin karena sejak masih usia balita, aku dititipkan pada Uwa yang merupakan kakak perempuan Mamah (panggilan aku dan saudara-saudaraku untuk Ibu). Ungkapan sayang dan  bermanja-manja sama sekali tidak pernah ada dalam hubungan kami.
Lahir di tengah-tengah banyak saudara tentu memiliki suka duka tersendiri. Senangnya, aku tidak pernah merasa kesepian. Namun ada satu hal yang mengganjal, yakni sikap ibu yang berbeda terhadap salah satu adikku membuat rasa cemburu yang memang telah aku pendam sekian lama, kembali muncul. Terutama kejadian waktu ‘itu’, saat kenaikan kelas ke kelas 3 SMA, tepatnya hari pembagian rapor.
Pagi itu seperti biasanya, usai shalat Shubuh aku menyapu halaman rumah. Ibu dan ayah tampak bersiap menuju pasar untuk berjualan di salah satu warung disana. Semalam aku meminta ibu untuk datang ke sekolah untuk diskusi umum dengan wali kelas yang rutin dilakukan saat pembagian rapor. Selain itu, aku juga meminta uang untuk biaya pengayaan yang akan dimulai semester berikutnya.
“Bayar pengayaannya nanti aja, ya. Mamah baru aja keluar uang buat biaya masuk SMP adik. Terus kalo Mamah ngga ke sekolah, rapornya ambil sendiri aja ya”, ujar Ibu dengan aksen Jawanya, saat melewatiku.
Belum sempat aku menjawab, motor yang dikemudikan ayah langsung pergi. Aku terpaku memandang motor yang ditumpangi Mamah dan Bapak menghilang di tikungan ujung jalan. Setelah itu, aku melanjutkan menyapu sambil menangis dan mengumpat dengan menyebut ‘Mamah pelit’, ‘Mamah pilih kasih’, ‘Mamah jahat’, dan semacamnya. Tanpa aku sadari, ternyata ada genangan air kotor di depanku dan kakiku menginjaknya. Spontan aku berteriak dan makin dongkol saja. Waktu itu, aku masih belum sadar, bahwa hari itu masih musim kemarau dan jarang ada genangan di halaman rumah kecuali di musim penghujan. Allah langsung menegurku saat itu juga. Tapi rupanya pintu hati dan pikiranku masih tertutup hingga aku mengalami kejadian ‘itu’ yang kedua dan ketiga kalinya.
Kejadian ‘itu’ yang kedua terjadi saat pendaftaran kuliah. Selepas SMA, aku berniat mengambil jurusan Mikrobiologi di ITB. Hasil ujian Try Out dan psikotes menunjukkan hasil positif. Formulir sudah dibelikan kakak ke-3 yang melanjutkan pendidikan disana juga. Selanjutnya tinggal menyerahkannya secara langsung ke kampus ITB sebagai bukti regristasi ulang. Hatiku senang karena yang kupikirkan saat itu, aku bisa jauh dari Mamah. Aku jadi bisa mengurangi rasa bersalah atau ‘dosa’ karena terus menjaga jarak dengan Mamah. Mamah semapt memberi masukan agar aku tidak kuliah jauh-jauh, cukup di Cirebon atau Majalengka saja. Tapi aku menolak dan bersikeras ingin kuliah di Bandung.
Diantar kakak, aku menuju bagian administrasi yang mengurus ujian SNMPTN (waktu itu masih SPMB). Kampus ITB sangat luas. Tidak heran jika mahasiswa disana cara berjalannya serba cepat. Mungkin karena ingin cepat sampai di tempat tujuan. Hatiku masih berbunga-bunga mengingat aku pun akan menjadi salah satu dari mereka. Menjadi mahasiswa salah satu PTN bergengsi di Indonesia.
Sampai di tempat pengembalian formulir, aku dan kakakku dikejutkan dengan pernyataan dari dalah satu karyawan disana.
“Wah, sayang, Dik. Registrasi ulangnya sudah ditutup. Kan sampai tanggal 10”
“Lho, memangnya sekarang tanggal 10, ya? Ya Allah, saya kira hari ini tanggal 9, Pak”, tanya Kakakku dengan raut terkejut.
Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Langit seakan runtuh. Kecewa? Pasti. Sedih? Tentu. Marah? Iya. Tapi mungkin karena terbiasa dengan kabar tidak mengenakkan, aku tidak menangis. Padahal kejadian hari itu adalah salah satu hal paling mengecewakan sepanjang sejarah hidupku.
Nasib baik memang tidak pernah berpihak padaku, batinku saat itu.
Sejak saat itu, aku tidak semangat untuk kuliah. Untuk mengisi kekosongan, aku daftar berbagai kursus. Tujuanku tetap satu, agar waktu untuk tinggal di rumah makin berkurang sehingga berinteraksi dengan Mamah pun bisa dikurangi. Tiap hari-hariku sibuk dengan kursus bahasa Inggris, bahasa Jepang, masak, karate, dan menjahit. Semua kurus tersebut setengah hati aku lakukan karena memang merupakan upaya pelarian dan kekecewaan karena tidak bisa kuliah tepat waktu.
Kejadian ‘itu’ yang ketiga lebih berhubungan dengan Bapak. Tepat setahun melepas predikat pelajar, kakakku mendaftarkan aku di STAN. Namun waktu itu aku sedang hobi nonton televisi. Hingga menjelang keberangkatanku ke Bandung pun aku masih asyik nonton.
“Sudah, nonton televisi saja, tidak usah kuliah!”, tegur Bapak waktu itu.
Bapak tampak marah meski tetap mau mengulurkan tangannya saat kusalami. Aku berangkat dengan sedikit menyimpan rasa gundah atas ucapan bapak tadi. Namun, di perjalanan, kegundahanku pun menghilang begitu saja.
Kejadian tahun lalu terulang kembali. Pihak administrasi yang menerima berkas pendaftaran ulang, memintaku membawa berkas yang ditandatangan asli oleh kepala sekolah. Aku lupa bahwa copy-an ijazah yang kuberikan hanya dilegalisir dengan cap saja. Aku hopeless untuk bisa kuliah tahun ini. Kakak memintaku untuk kembali ke Bandung esok hari. Aku menolak karena sudah malas ke Bandung. Alasan utama lebih kepada ketakutanku gagal lagi dalam tahap pendaftaran. Malu, pesimis, dan kecewa. Saat itu aku juga belum sadar bahwa kejadian itu akibat dari kebiasaanku menonton televisi yang telah mengundang murka Allah. Bukankah murka beliau merupakan cerminan dari murka Allah?
Setelah lebih dari dua tahun menjadi ‘masyarakat biasa’ atau ‘rakyat jelata’ dan hanya disibukkan dengan aktivitas kursus yang kurang menarik, akhirnya kakakku yang ke-2 menawariku kuliah di Cirebon. Waktu itu aku tidak langsung menjawab, tapi rupanya kakak langsung mendaftarkanku.
Setahun terakhir ini aktivitas rutinku bertambah. Dari yang semula kursus saja, aku juga diminta untuk membantu Mamah di warung, karena kebetulan adikku yang biasa membantu Mamah telah diterima di Andalas. Sebelum ke pasar, mungkin karena amat lelahnya, Mamah memintaku memijat pundak beliau. Saat aku melihat rambut yang lebih didominasi warna putih, aku tertegun. Usia Mamah telah demikian lanjut. Setelah Mamah memintaku berhenti memijat, aku menawarkan diri untuk menyisir rambut Mamah. Meski tampak heran, beliau tidak keberatan juga. Melihat uban-uban itu membuat aku tidak tahan menahan air mata. Apakah aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Mamah? Setelah sekian lama bergelut dengan stereotip negatif tentang beliau? Apakah aku terus membuat jarak dengn Mamah hingga Izrail datang menjemput salah satu di antara kami? Aku langsung takut jika hari itu benar-benar datang dan aku belum bisa menjadi anak yang membuat orang tuaku bahagia.
Aku baru sadar, bahwa orang yang paling diharuskan oleh Allah untuk dipergauli dengan baik adalah orang tua. Bagaimana mungkin aku bisa menciptakan jarak hingga bertahun-tahun? Pertanyaan dan penyesalan membaur dalam hati. Apakah seperti ini akhlak Muslimah yang kerap halqah dan memakai jilbab? Apakah jilbab tersebut justru menjadi perisai agar akhlak yang sebenarnya bisa tertutupi? Astaghfirullah . . .
Kajian halqah tentang Birul walidayn saat kelas X SMA kembali teringat. Entah selama ini memori itu tersimpan di sudut mana hingga baru kutemukan sekarang. Aku pun bersimpuh di hadapan Mamah. Meminta maaf atas semua kesalahan yang telah aku lakukan. Mamah tampak terharu dan tersenyum. Senyum yang sampai saat ini masih aku ingat dan tidak akan pernah kulupakan.
Sejak saat itu, rasanya berbagai kemudahan aku dapatkan saat mendaftar di IAIN ini. Allah memiliki banyak rencana cantik untuk hamba-Nya. Karena hadiah dari Allah memang tidak selalu dibungkus dalam bentuk ‘kado kebahagiaan’, tetapi bisa pula dalam bentuk ‘masalah’ yang didalamnya telah tersedia kado yang lebih indah.
Aku men-ceklis Biologi dan Matematika dalam kolom jurusan yang menjadi pilihan. AlhamduliILLAH, diterima di Biologi. Tapi, begitu terkejutnya aku melihat begitu padatnya jadwal kuliah dan praktikum. Sempat terbersit untuk pindah ke jurusan Matematika atau lainnya seperti beberapa teman yang pindah ke jurusan lain. Bahkan ada pula yang keluar lalu pindah ke universitas lain. Tapi tidak sedikit pula yang bertahan dan berjuang bersama-sama hingga akhir. Menginjak UAS semester 7 ini, semua tantangan dan rintangan berhasil kami lewati.
Aku tidak menyangka bisa bertahan kuliah di IAIN dengan nilai yang tidak mengecewakan. Bagaimana tidak, jika sebelum dan setelah pulang kuliah, yang aku lakukan adalah membantu ibu di pasar. Bisa dibilang, dalam waktu 24 jam sehari, hanya 1 jam yang bisa aku alokasikan untuk belajar, terkecuali jika ada tugas yang membutuhkan waktu lebih dari itu. Selain itu, aku juga mengikuti UKM Ldk dan masih sering menekuni hobiku menulis. Aku yakin, bahwa semua ini tidak terlepas dari do’a restu Mamah dan Bapak. Karena ridha Allah ada pada ridha keduanya. Ketika sebagian orang meyakini sesuatu untuk dikeramatkan, seperti mengkultuskan tempat untuk berdo’a, sesungguhnya keramat itu ada di dekat kita. Do’a yang paling mujarab dan mustajab ada pada kedua orang tua kita.
Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan inspirasi bagi siapa pun yang membacanya, bahwa ada orang yang tak akan pernah mengharapkan balasan dalam mencurahkan kasih sayangnya pada kita. Tiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk mencurahkan kasih sayangnya untuk kita. Di antara kita mungkin sulit untuk mengucapkan ‘I love you, Mom’. Bahkan sampai ini, lidahku masih kelu untuk mengucapkan kalimat yang begitu mudahnya diucapkan Delisa pada Ummunya.
Ummy, Delisa mencintai ummy karena Allah . . .
Ibu mana yang tidak terharu dan menangis mendengar kalimat itu diucaokan oleh anaknya. Dan aku pun, ingin sekali bisa mengucapkannya pada Mamah. Entah mengapa aku masih saja malu untuk mengatakannya.Padahal kalimat itu begitu sederhana jika memang kita membiasakannya. Masalahnya, aku memang tidak terbiasa mengucapkan kalimat itu. Aku berharap, aku bisa mengungkapkannya sebelum Allah memanggil salah satu di antara kami, Insha Allah . . .
Satu hal yang kuyakini saat ini, yaitu Mamah tahu aku menyayanginya dan aku pun tahu bahwa Mamah sangat menyayangiku dan saudara-saudaraku. Hanya saja, jarang bisa diungkapakan dalam bahasa verbal. Kami memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan kasih sayang. Bisa dengan cara sederhana, seperti saling membantu, mendo’akan, dan terus menyambung silaturrahim meski dipisahkan oleh jarak. Mungkin puisi yang pernah aku baca di salah satu novel di bawah ini mampu mewakili cara kami mengungkapkan kasih sayang. Walaupun konteksnya untuk sepasang suami istri, tapi menurutku tepat pula jika seorang digambarkan sebagai ungkapan ibu kepada anaknya.
Aku ingin mencintaimu secara sederhana
Seperti awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu secara sederhana
Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu
dst . . .

I’ll always love you, Mom
Until Izrail comes and my breath be lost
A long life
Until the end of time . . .
Aku akan selalu mencintai Mamah karena Allah.
















PS:
Sempat bingung juga ketika Departemen Kemuslimahan meminta saya untuk membuat kisah inspirasi tentang ibu. Bukan karena tidak ada yang bisa diceritakan, bahkan sebaliknya. Banyak kisah yang tentu tidak dapat saya ceritakan detailnya disini (karena tidak akan pernah cukup tinta pena di seluruh dunia ini untuk bisa menorehkannya secara keseluruhan . . . ^_^). Saya sangat yakin, kisah inspirasi nan mencerahkan yang mampu mengguncang dunia bisa dialami oleh siapa saja, termasuk rekan-rekan semua yang membaca kisah ini.
Sebenarnya saya jarang menggunakan sudut pandang orang pertama dengan sebutan ‘aku’. Karena menurut orang Melayu, ke-Aku-an mutlak hanya milik Allah. Tapi karena ingin mengurangi kekakuan bagi yang membacanya, maka ‘terpaksa’ saya menggunakannya juga. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada orang Melayu, maka moga Allah pun meridhi tulisan saya ini. Inshaa Allãh, Aamiin Allãhumma Aamiin.


By
Majaza’ah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar